Pagi yang tenang, cangkir kopi masih mengepul, dan rak buku menatapku seperti deretan saksi bisu. Kadang aku berpikir, membaca buku—baik yang berdebu dari perpustakaan tua maupun yang masih beraroma tinta segar—adalah cara paling romantis untuk menyusuri jejak pemikiran manusia. Filsafat, sejarah, sastra, seni, budaya: semuanya saling bertukar pesan lewat halaman-halaman itu. Santai saja, ini bukan kuliah formal. Kita ngobrol, sambil menyeruput kopi, tentang bagaimana buku mengikat masa lalu, masa kini, dan imajinasi masa depan.
Mengapa buku lama masih relevan (walau sudah bau old-school)
Buku klasik sering dianggap seperti artefak museum: indah dilihat, tapi kadang orang ragu menyentuhnya. Padahal, di balik gaya bahasa yang kadang kaku, ada kerangka pikir yang membentuk banyak cara pandang modern. Plato atau Ibn Khaldun mungkin menulis dalam konteks yang sama sekali berbeda, tapi inti pertanyaannya—tentang keadilan, kekuasaan, dan makna hidup—masih menggelitik. Membaca karya lama itu seperti berbincang lintas zaman; kita tidak harus setuju, tapi kita belajar kenapa pertanyaan itu lahir.
Selain nilai filosofis, buku lama juga berfungsi sebagai catatan sosial-historis. Gaya bahasa, referensi budaya, dan struktur narasi memberi petunjuk tentang apa yang dianggap penting di zaman itu. Itu membantu kita membaca sejarah bukan hanya sebagai rangkaian peristiwa, tapi sebagai percakapan panjang antar generasi.
Buku baru: update software pemikiran atau sekadar aplikasi baru?
Buku modern sering terasa lebih ramah: bahasa yang akrab, referensi pop, dan metode yang interdisipliner. Mereka menggabungkan teori filsafat dengan studi kultural, kritik sastra, atau bahkan neuroscience. Hasilnya? Wawasan yang terasa “dekat” dan langsung bisa dipraktikkan. Misalnya, esai kontemporer soal memori kolektif bisa membuka cara baru memandang sejarah lokal yang selama ini kita abaikan.
Saya suka membaca buku baru setelah memelajari klasik—seolah memberi kesempatan bagi suara-suara segar untuk menjelaskan, memparafrase, atau bahkan mengoreksi warisan pemikiran. Dan kalau sedang malas mikir berat, buku modern dengan gaya ringan bisa jadi teman ngobrol yang asyik. Eh, kadang mereka juga bikin kita marah. Itu juga sehat. Intinya: baca keduanya, biar otak nggak bosen.
Kalau Plato ngetweet: nyeleneh tapi masuk akal
Bayangkan saja: Plato punya akun Twitter. Apa yang dia tulis? “Rakyat butuh filosofi supaya nggak gampang termakan hoaks.” Kocak? Iya. Tapi skenario imajiner itu sebenarnya membantu memikirkan bagaimana gagasan-gagasan besar bisa dipadatkan dan disebarkan lewat medium baru. Seni dan budaya juga berperan di sini—ilustrasi, novel grafis, podcast, sampai instalasi seni publik menjadi kanal untuk menerjemahkan teori abstrak ke dalam pengalaman sehari-hari.
Dengan cara nyeleneh seperti ini kita bisa menjembatani jurang antara bahasa akademik yang kadang eksklusif dan bahasa publik yang lebih cair. Seni membentuk cara kita merasakan sejarah; sastra memberi wajah pada fakta; dan budaya populer memudahkan ide masuk ke diskusi publik. Jadi, kalau kamu lihat filsuf di meme, jangan langsung judge. Mungkin itu pintu masuk yang bikin orang lain mau ikut membaca.
Menemukan koleksi: agak serius, tapi praktis
Kalau kamu sedang cari buku yang kombinatif—misalnya teks klasik dengan komentar modern atau kumpulan esai interdisipliner—aku sering menemukan koleksi menarik di berbagai toko specialty. Salah satu yang pernah kususuri adalah thehumanitiesbookstore, tempat yang asyik untuk menemukan judul-judul yang kadang luput dari rak toko besar. Tapi tentu saja, jelajahi juga perpustakaan lokal, pasar buku bekas, atau rekomendasi teman.
Akhirnya, perjalanan lewat buku itu bukan soal menumpuk gelar atau pamer kutipan. Ini soal membangun percakapan—antaramu dan penulisnya, antara masa lalu dan masa kini, antara estetika dan etika. Jadi, ambil buku yang membuatmu penasaran, seduh kopi lagi, dan izinkan dirimu tersesat di antara halaman. Siapa tahu, di sana kamu menemukan potongan yang membuat cara pandangmu berputar sedikit lebih bijak (atau paling tidak, lebih asyik saat diskusi malam minggu).